Sabtu, 26 Maret 2011

CINTA NEGARA DAN NASIONALISME

Sejak sekolah dasar, guru-guru kita dulu sudah memperkenalkan pendidikan pancasila atau kewarganegaraan dalam bentuk upacara pada hari senin yang didalamnya dilakukan pengerekan bendera yang diiringi dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan teks pancasila dan pembukaan undang-undang dasar 1945. Semua rutinitas yang dilaksanakan setiap senin itu merupakan perwujudan secara sadar tentang pemaknaan berbagsa dan bernegara, meskipun pada waktu itu kita belum tahu apa makna dari rutinitas itu semua. Mungkin sekarang baru kita ingat bahwa apa yang dilaksanakan oleh guru kita pada masa-masa sekolah, ternyata sangat berarti dan bermanfaat dalam kehidupan berpolitik, terutama dalam mengelola kebijakan pemerintah.
Secara ideologi pembelajaran cinta tanah air sudah diajarkan sejak kita masih sekolah dasar, pembelajaran dimaksud dilakukan dengan sangat sederhana dengan keterbatasan alat yang tersedia, mungkin saja benderanya sudah lusuh, teks pancasila dan UUD 1945 mungkin sudah usang, namun penghormatan kepada bendara merah putih tetap dikumandangkan, teks pancasila terbaca dengan fasih, ini membuktikan bahwa muara pembelajaran cinta tanah air bukanlah hal yang baru. Dapat dipastikan juga pada setiap peringatan hari-hari besar kenegaraan semua instansi pemerintah maupun swasta menggelar upacara yang didalamnya juga terdapat kegiatan penaikan bendera merah putih, pembacaan teks pancasila, menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan teks pembukaan UUD 1945, semua rutinitas tersebut sama hanya seperti yang dilakukan ketika kita sekolah SD dulu. Oleh karena itu, sejak SD hingga sekarang rutinitas penghormatan kepada negara masih berlangsung, paling tidak pada momen-momen tertentu seperti upacara pembukaan sebuah kegaiatan tetap dilakukan Open Scremoni yang didalamya juga menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hening cipta. Dari sejumlah rutinitas yang kita laksankan dan ikuti paling tidak kita masih hafal teks pancasila, lirik dan irama lagu Indonesia Raya, pembukaan UUD 1945, dan itu membuktikan kita masih cinta kepada tanah air ini.
Selanjutnya, generasi muda menjadi harapan bangsa, mereka adalah pelajar dan pemuda sebagai calon pemimpin bangsa, sudah sepantasnya kita beri perhatian lebih kepada mereka agar energi dapat tercurahkan untuk cinta tanah air. Nilai-nilai nasionalisme sudah dititahkan sejak kita mengenal pendidikan dan itu menjadi modal terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh. Jangan berharap terlalu besar untuk menumbuhkan nasionalisme pada generasi dewasa apalagi generasitua, kesempatan itu sudah semakin terbatas, termasuk mahasiswa. Karena mahasiswa tidak lagi mengikuti tradisi upacara, hanya saja membuat kegiatan sremoni saja, maka nilai-nilai nasionalisme mereka mungkin sudah menurut sehingga insident bakar foto president masih terjadi, lupa dengan pancasila apalagi lagu Indonesia Raya, hampir rata mahasiswa sudah tidak hafal lagi. Kondisi ini menjadi tidak kondusif, karena mahasiswa sudah mempelajari tradisi ilmiah yang didalmnya terdapat kebebasan berpendapat yang kebenarannya tidak absolut.
Taufik Abdullah, mantan Ketua LIPI, menyebutkan krisis nasionalisme yang dialami bangsa Indonesia merupakan hasil sebuah proses kompleks sejarah kepemimpinan nasional yang memberikan dampak pada jiwa-jiwa rakyatnya. Bahkan dalam salah satu artikelnya ia memberikan sebuah retorika “Krisis Nasionalisme, Wacana atau Struktur Kesadaran?”. Dengan demikian kaum pelajar tidak masuk dalam kategori yang terkena krisis nasionalisme karena mereka termasuk yang mejalani rutinitas upacara pada Hari Senin. Terkecuali mereka yang keluarganya menjadi korban serius sebuah rezim.
Ancaman dan hambatan untuk pelajar menumbuhkembangkan rasa cinta tanah air adalah lingkungan dan globalisasi. Dan jangan lupa mereka adalah ‘Digital Native’ - lahir dan besar di era digital. Mereka lahir di masa yang memanjakan fisik dan mobilitas seseorang di mana pelajaran mengenai tugas dan kewajibannya sebagai warga negara menjadi sebuah hal yang membosankan dan jadul.
Mahasiswa dan pemuda sudah mulai terbatas waktunya untuk belajar dan mengikuti upacara maka, sehingga Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora) juga telah menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Kesadaran Bela Negara Pemuda Tingkat Nasional. Jumlah peserta 100 orang yang terdiri dari unsur DPP KNPI (5 orang), OKP Tingkat Nasional (27 orang), DPP KNPI/OKP Provinsi (33 orang), dan senat mahasiswa perguruan tinggi (35 orang). Dari seratus peserta dipilih sepuluh besar untuk mendapatkan beasiswa dari Depdiknas.
Pelatihan bela negara bagi pemuda dan mahasiswa tersebut bertujuan agar mereka memiliki rasa nasionalisme sebagai generasi penerus bangsa. Materi bela negara yang diberikan kepada para pemuda dan mahasiswa lebih kepada pilar pembangunan dalam keikutsertaannya dalam bela negara, rasa cinta tanah air, wawasan kebangsaan serta etika berbangsa dan bernegara.
Pendidikan Bela Negara yang tepat tentunya menggunakan sistem pembelajaran constructive and active learning, yang berarti serangkaian aktivitas belajar dibuat sehingga para peserta mampu secara otomatis mengetahui apa itu wawasan kejuangan, kebangsaan dan nusantara tanpa diberitahu oleh penyelenggara. Berbeda dengan passive learning seperti model perkuliahan di ruangan yang menuangi peserta bagaikan sebuah teko (guru) berisi air penuh mengalirkan air ke gelas (murid) yang kosong. Ini namanya spoonfeeding. Tak akan berhasil mencapai sasaran pembelajaran, yakni nasionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar