Kamis, 25 November 2010

Ketika Kampus Berpolitik Praktis

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan seseorang, lembaga atau pihak manapun, apalagi memvonis eksistensi kampus yang notabonenya sudah melahirkan banyak teori dan kebijakan dalam mempertahankan dan memajukan bangsa ini. Banyak tokoh bangsa ini lahir dari kampus, meskipun itu tidak satu-satunya jalan menuju sukses dan secara teoritis justru kampuslah yang sudah teruji dan dapat memproduksi orang-orang cerdas sebagai pemimpin bangsa. Justru, dinamika kampus perlu dikaji untuk menghindari rasa khawatir dan jumud terhadap kondisi dan iklim kampus yang mulai terseret kepada politik prastis, minimal ditingkat petinggi kampus itu sendiri. Ekosistem kampus yang terdiri dari pendidik, peserta didik dan sarana-prasana pendukung lahirnya proses transformasi ilmu pengetahuan boleh jadi tidak berubah, namun kebutuhan akan penguatan kognitif, afektif dan psikomotorik terus berkembang dan ini akan berakibat pada kemandirian mahasiswa dalam keterlibatannya dimasyarakat. Dapat dipastikan dengan lahirnya kebijakan pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 028/U/1974 tentang NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) sekarang senat/BEM, dimana isi keputusan ini sangat membelenggu langkah gerak mahasiswa. Sejatinya pergerakan mahasiswa harus senantiasa bergerak dan merambah, menjalar, mengembangkan nalar intelektualitas, namun dalam konteks itu, semua kegiatan mahasiswa kala itu harus seluruhnya melalui persetujuan pihak pimpinan perguruan tinggi/rektorat yang notabene adalah antek–antek penguasa. Akibatnya pergerakan mahasiswa “paksa” untuk sesuai dan mengikuti cita–cita penguasa kampus yang kadang-kadang sangat jelas bertentangan dengan nilai-nilai idealisme mahasiswa. Eksistensi mahasiswa yang secara naluriah sering menempatkan dirinya sebagai pihak oposisi, sehingga dengan kritisnya mempertanyakan terhadap berbagai kebijakan kampus baik secara eksplisit maupun implicit. Pemerintahan yang sedang berkuasa, secara sewenang-wenang sering kalau tidak dikatakan secara terus-menurus memantau dan mengawasi semua gerak gerik aktivitas kemahasiswaan, baik dikampus maupun ekstra kampus. Dan kondisi itu berdampak pada kebebasan insan kampus yang mengakibatkan terbatasnya ruang gerak bagi mahasiswa dalam mengekspresikan cita-rasa kreatifitasnya. Paling tidak, kesempatan itu sering terhalang oleh banyaknya sekat-sekat yang menjurus pada melemahnya atau sering kehilangan ruang politiknya yang bebas dan kreatif. Maka dapat dimaklumkan mahasiswa dipaksa untuk “menelan”, sejumlah teori dan konsep diruang kelas yang kadang-kadang membosankan, ditambah lagi dengan dipisahkannya organisasi ekstra dan intra kampus. Idealnya, Sebuah kampus memegang teguh pada tridarma perguruan tinggi dengan kaedah 3P, Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian masyarakat, hal ini penting untuk membangkitkan rasa percaya diri sembari memperkuat tradisi akademik dengan berpikir objektif, mengandalkan kejujuran, berdasarkan fakta, serta cinta ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, itu barangkali beberapa ciri utama sebuah kampus berakademik. Namun selaras dengan itu tidak jarang terjadi gesekan, bisikan, terpaan, sehingga kampuspun terseret dengan arus perpolitikan yang sering para pejabat dan dosen gemar 'berpolitik', bahkan yang lebih ironis masing-masing individu berorientasi dan merasa dirinya atau kelompoknya paling benar, paling jujur, paling transparan dan paling ramah di kampus. Kita tahu, bahwa di kampus manapun sistem 'politik kampus', tetap ada, meskipun dibalut dengan bingkai debat, orientasi, kuliah umum dan idiom lain yang sama dan setinggkat dengannya. Perlu diingat bahawa, politik kampus sungguh berbeda dengan politik luar kampus (atau politik negara), jangan sampai politik kampus dicemari oleh kepentingan-kepentingan politik luar kampus. Perlu ditelusuri, kalau politik kampus sudah ternoda bahkan tercemar dengan berbagai intrik dan kepentingan, maka dapat dipastikan ketika top leader di kampus termasuk dosen-dosennya sudah gemar berbincang bahkan berdiskusi tentang posisi dan jabatan structural. Tidak hanya itu para fungsionalis mulai malas untuk melanjutkan studi S2 dan S3 (kalau sekolah pun cari yang cepat lulus, tidak peduli dengan mutu); malas membaca dan menulis ilmiah; suka kasak kusuk yang berujung pada kepentingan pribadi dan kelompok; suka eksklusif dengan hanya berkomunikasi dengan sesama berkelompoknya berikut teman-temannya sekepentingan. Lalu, sering berperan ganda untuk mencari muka, yang kerapkali menjadi buah bibir; dan berkeinginan untuk cepat mendapat posisi meskipun dengan cara yang tidak populis, dan rela meninggalkan kaedah dan etika sebagai seorang akademisi. Dinamika Kampus Prof. Harsya Bachtiar, mantan Kepala Balitbang Departemen P dan K yang juga ahli sosiolog, ketika disodorkan pernyataan bahwa kampus-kampus di Indonesia sedang mengalami proses pembusukan, karena kultur politik cenderung lebih dominan ketimbang kultur akademik. Sehingga kampus sering terjadi perpecahan politik, beliau berpandangan bahwa, dari perspektif sosiologi itu hal yang wajar... mengingat masyarakat memang hidup secara berkelompok dan saling berebut kepentingan... Memang jawaban itu sangat teroritik, tetapi seakan-akan memperkuat stigma seorang harus memperjuangkan keinginannya, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan nuraninya. Namun saat ini permasalahan kampus terus saja berkembang ditengah–tengah pasang surut kondisi sosial politik negeri ini, namun ironis justru permasalahan yang berkembang di kampus hanya permasalahan yang sama sekali belum menunjukan kekuatan bersama. Sementara kelompok mahasiswa senang mengusung isu bersama dengan mengedepankan ideologi sebagai warisan pergerakan mahasiswa terdahulu, dengan selogan “satu komando, satu perjuangan, rakyat (mahasiswa) bersatu tak bisa dikalahkan”. Pernyataan atas dasar fanatisme sempit kelompok, kamu bukan kelompokku, maka kamu musuhku, kamu tidak sealiran denganku, maka kamu salah. Belum diketahui siapa yang melahirkan tradisi politik kotor dan amoral di kampus, yang saat ini justru mahasiswa menjadi boneka atau malah robot kepentingan oknum tertentu yang haus akan kekuasaan, bahkan bisa jadi mahasiswa adalah pionir bagi pemerintahan yang sedang berkuasa, alamat kemunduran gerakan kampus. Indikasi ini pun terlihat dari gaya hidup hedonisme anak muda yang dibawa oleh budaya barat, membuat mata dan hati tertutup untuk memikirkan masalah rakyat, dan lebih penting mengatur jadwal bersenang–senang dan berpacaran ketimbang memikirkan kelanjutan atas kemajuan bangsa dan negaranya sendiri. Hingga saat inipun sosial politik kampus akan selalu menjadi dinamika yang terus menerus berkembang dan hangat untuk dikaji dan didiskusikan, karena kedinamisannya. Wallahu’alam bissawaf

1 komentar:

  1. Kalau di Bangka ada Istilah Dek Kawa Nyusah (DKN)...apa masuk pengaruh Barat pak?

    BalasHapus