Senin, 22 November 2010

Menanti Menara Keunggulan Intelektual di STAIN

“Sarjana yang dapat menyelesaikan tentang bagaimana...., maka ia akan menjadi pegawai sepanjang masa dan sarjana yang bisa menjawab problema kenapa dan mengapa... maka ia akan bisa menduduki jabatan kepala atau direktur, sedangkan sarjana yang mampu menjawab keduanya akan bisa menjadi pemimpin sejati” Itu sepenggal pernyataan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik (STAIN SAS) Bangka Belitung Prof. Dr. H. Imam Malik, M. Ag ketika melantik dan mewisuda 127 Alumninya pada kamis/4 November 2010. Sangatlah pantas dan wajar bila pernyataan itu diutarakan oleh seorang pimpinan perguruan tinggi yang notabenenya seorang akademisi sebagai tanggung jawab terhadap eksistensi alumninya di masyarakat. Namun perlu diingat bahwa tidak serta merta pernyataan itu menjadi pembenaran bagi Perguruan Tinggi yang hanya mampu melahirkan sarjana untuk menjadi pegawai atau karyawan. Kesiapan para alumni sangat bergantung pada keahlian yang pernah diterima dibangku kuliah, disamping itu ditopang oleh pengalaman mereka dalam berinteraksi sesama mereka di kampus, secara akademis dan sosiologis. Kemengahan gedung belum dapat dijadikan sebagai simbol “menara keunggulan intelektual” justru itu menjadi pertaruhan untuk menjawab tantangan. Letak kampus yang strategis, anggaran yang melimpah, mahasiswa yang membludak, ternyata belum cukup untuk menyebutkan bahwa kampus itu elit, alumninya bonafit. Ketersediaan tenaga pengajar yang profesional dan materi ajar yang aktual sesuai kebutuhan pasar diyakini, itu menjadi salah satu bekal agar sarjana dapat bersaing di kancah seleksi dan diterima sebagai pegawai atau karyawan disebuah instansi pemerintah atau swasta. Kampus hijau STAIN SAS merupakan perguruan tinggi negeri pertama di Kepulauan Bangka Belitung, hal ini terwujud melalui Keputusan Presiden Nomor 93 Tahun 2004 tanggal 18 Oktober 2004. Dari 40 orang tenaga pengajar belum seorangpun yang bergelar Doktor apalagi guru besar terkecuali ketua itu sendiri. Memang ada beberapa dosen yang sedang merampungkan program doktoralnya dan itupun belum diketahui kapan akan diwisuda. Lalu, bagaimana caranya mengajarkan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan yang diawali dengan bagaimana, kenapa dan mengapa seperti diutarakan di atas, dengan tidak meragukan kemampuan fungsional para dosen, meskipun berbekal pendidikan pascasarjana, namun secara akademik patut dipertanyakan. Untuk mewujudkan keinginan itu, bukalah hal yang gampang justru itu perlu keseriusan tenaga pengajar dan ketekunan para mahasiswa untuk mandiri. Tenaga pengajar yang profesional, jurusan yang strategis, persaingan mahasiswa yang kompetitif dan seterusnya, itu hanyalah bagian terkecil dari tradisi akademik di kampus ilmiah. Harapan kita setiap alumni yang diwisuda hendaknya dapat berkesempatan mengaplikasikan ilmunya di tempat kerja baik di pemerintahan maupun pihak swasta. Dan yang lebih penting lagi bahwa sarjana hendaknya jangan menjadi pencari kerja, justru seorang sarjana harus mampu menciptakan lapangan kerja minimal untuk dirinya sendiri, syukur-syukur dapat menampung tenaga kerja lainnya. Semua orang paham bahwa Perguruan Tinggi hanya memberikan bekal ilmu pengetahuan secara teoritik, sedangkan pengembanagan dan pelaksanaannya, sesungguhnya akan di temui dilapangan ketika alumni berada di tengah-tengah masyarakat. Paling tidak, dengan bekal ijazah para alumni berkesempatan untuk mengikuti seleksi pada setiap peluang yang ada, hal itu penting untuk menjawab ketiga problema di atas. Tantangan dunia kerja Ada dua kebahagiaan bagi mahasiswa pertama ketika diterima di Perguruan Tinggi dan kedua ketika mengikuti prosesi wisuda, saat-saat yang paling membahagiakan ketika pemindahan kuncir toga oleh pimpinan perguruan tinggi yang disertai dengan penyerahan tabung yang berisi ijazah dan ikrar almamater. Kebanggaan itu akan menjadi hambar ketika berhadapan dengan peluang kerja, apalagi alumni yang dilahirkan tidak dibekali dengan skill dan keahlian yang memadai dibidangnya. Rutinitas ketika mahasiswa adalah masuk kuliah, membuat tugas, presentasi dan membaca, rutinitas itu sering menyebabkan para mahasiswa terlena dengan luput memikirkan potensi apa yang dapat dikembangkan agar setelah diwisuda dapat menaklukkan persaingan kerja. Maka jangan heran bila ada sarjana yang selalu berpikir apa yang hendak dikerjakan, tidak jarang mereka terlihat lebih pusing dibangdingkan ketika masih berstatus sebagai mahasiswa, kepusingan itu seakan terus bertambah kerena harus bertahan hidup dikota, sementara tanggungan biaya dari orang tua sudah berakhir. Pesyaratan untuk memasuki dunia kerja semakin hari semakin longgar, dalam artian semua ijazah sarjana boleh mendaftar meskipun kadang-kadang kelihatannya tidak relevan dengan spesifikasi perkerjaan yang ditawarkan, misalnya perusahaan pers, perbankan, dan asuransi. Masing-masing perusahaan memiliki target yang hendak dicapai, kecendrungannya karyawan yang diterima lebih didasarkan pada hasil mangang karena yang dibutuhkan perusahaan justru orang-orang yang sudah siap untuk bekerja, karena dunia kerja sering berfikir instan dengan biaya yang murah. Bagi dunia kerja yang dibutuhkan adalah tenaga yang siap bekerja dengan kemampuan subtantif berupa kemampuan psikomotorik bukan berarti keahlian kongnitif tidak dibutuhkan, namun itu hanyalah kemampuan dasar sebagai persyaratan dan yang memiliki ketrampilan untuk pengembangan bagi perusahaan. Pascasarjana di STAIN Tidak dipungkiri bahwa kehadiran STAIN SAS Babel sudah memberikan warna baru dalam rangka pengembangan tradisi ilmiah, semangat kreativitas dan kapabiltas sehingga visi dapat diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kita sadar, bahwa Perguruan tinggi membutuhkan investasi yang cukup besar dan tidak bisa dinikmati dalam waktu singkat dan investasi itu tentunya akan dinikmati oleh generasi setelah kita. Komitmen menjadikan STAIN SAS BABEL sebagai pusat keunggululan inteletual dan moral berwawasan global akan dapat diwujudkan dengan memperkuat keahlian sosial (social expectation) dan keahlian akademik (academic expectation). Kedua harapan itu, akan dapat terwujud dengan segera membuka program studi ilmu-ilmu eksata, ilmu-ilmu umum yang diajarkan secara integratif dan holistic. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana, STAIN SAS sudah menawarkan 3 jurusan tingkat sarjana masing-masing Dakwah, Syari’ah dan Tarbiyah dengan daya tampung 2000-an mahasiswa dan itu sudah cukup untuk mengisi lowongan pada dunia kerja di Bangka Belitung. Mendesak perlu dipikirkan oleh STAIN SAS adalah bagaimana menjawab pertanyaan kenapa dan mengapa khususnya bidang Pendidikan Islam, terutama bagi 446 alumni STAIN dan 1.045 guru-guru agama di Bangka Belitung. Untuk menjawab pertanyaan itu hanya dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan tingkat pascasarjana dan STAIN SAS Babel paling berkompeten untuk segera membuka program pascasarjana. Waallahu’aklam bis sawaf.

1 komentar:

  1. Penulis kental sekali menggunakan pendekatan SDM sebagai bagian dari produksi.... ini berbahaya dapat memposisikan para sarjana sebagai alat kerja tidak lagi sebagai manusia...pada akhirnya pendidikan tidak lebih dari pabrik tenaga kerja....ingat misi pendidikan adalah memanusiakan manusia.jangan merendahkan martabat kemanusiaan manusia...sori numpang komentar

    BalasHapus