Jumat, 01 April 2011

QURBAN : BUKTI PENGORBANAN DAN KEIKHLASAN

Setiap datangnya hari raya ‘idul ‘adha mengingatkan kita pada sebuah peristiwa besar yang dilakoni oleh Nabiullah Ibrahim dan anaknya Ismail alaihissalam. Peristiwa munomental itu terjadi ketika turunya perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk mengqurbankan (menyembelih) putranya Ismail as. Dengan predikat khalilullah, Nabi Ibrahim sangat cinta kepada Allah swt. Semua perintah Allah ia lakukan dengan ikhlas, bahkan ketika ia diperintahkan untuk mengurbankan anaknya Ismail ia lakukannya dengan kerelaan dan kekuatan iman.
Satu hal yang istimewa, perintah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail sebagai qurban hanya diterima lewat mimpi “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam tidur (mimpiku), bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu? Ismail menjawab; “wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintah Allah, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk di antara orang-orang yang sabar “(QS, Al- Shaffat: 103).
Dari isyarat ayat Alquran tersebut dapat diambil i’tibar berupa sikap santun dan humanisnya seorang ayah terhadap anaknya. Padahal seorang ayah memiliki otoritas dan memiliki hak paksa untuk menjalankan sebuah perintah, tetapi ia tidak menggunakan hak tersebut, melainkan dengan cara-cara yang sopan dan lembut melalui dialog terbuka dan musyawarah.
Metode dan cara yang dilakukan Nabi Ibrahim sangat berpengaruh pada sikap dan psikologis seorang anak dalam menerima perintah. Sekalipun sebuah ajakan untuk disembelih atau diqurbankan di tangan ayahnya sendiri, namun jawaban yang diberikan anak dengan tulus dan ikhlas menerimanya. Akan tetapi bila ajakan tersebut dilakukan secara kasar dan tidak bersahabat, kemungkinan si anak pun akan menggunakan berbagai cara untuk menghindar kalaupun tidak melawannya.
Buah kesabaran dan keikhlasan dalam melaksanakan perintah Allah yang semata-mata mengharapkan ridha Nya berakhir dengan memerintahkan malaikat untuk menggantikan posisi Ismail dengan se-ekor kibas, dan ketika Ibrahim membuka matanya ternyata yang disembelih bukan anaknya tetapi se-ekor kibas.
Syukur dan Ketaqwaan
Kisah heroik pengorbanan Nabi Ibrahim diabadikan secara nyata dalam Alquran. Allah swt memperlihatkan kembali kepada para hamba-Nya, contoh orang-orang yang sangat cinta kepada Allah dan dalam menjalankan perintah-Nya dilakukan dengan ikhlas. Sudah tentu dalam kondisi normal bila perintah itu ditujukan kepada kita sekarang ini, dipastikan banyak yang mengabaikan bahkan menentangnya.
Karena itu Allah swt. sangat memahami dengan kondisi hamba- Nya, maka yang diperintahkan kepada kita bukanlah menyembelih anak seperti halnya diperintahkan kepada Ibrahim as, tetapi yang diperintahkan kepada kita, mau menyisihkan bagian kecil dari pemberian Allah berupa rezeki yang banyak dengan menyembelih hewan qurban tertentu, pada sepuluh Zulhijjah dan hari-hari tasyriq, seperti diisyaratkan Alquran: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka shalatlah kepada Tuhan-Mu dan berqurbanlah “(QS, Al- Kautsar: 1-2).
Dan Allah sendiri tidak mengharapkan daging dan darahnya (dari hewan qurban) itu, tetapi yang diharapkan Allah darimu adalah “ketaqwaan” di antara kamu. Hendaknya dicamkam pula; “Dengan mensyukuri nikmat Allah, Allah terus menambah (nikmat) itu dengan berbagai jalur, sebaliknya bila bersikap kufur (menentang), Allah menurunkan azab-Nya”.(QS,Ibrahim:7)
Harus pula dipahami bahwa perjuangan tidak pernah berhenti dan final. Pengorbanan umat Islam sekecil apapun sangat diperlukan. Yang kaya dengan hartanya, yang memiliki kekuasaan dengan jabatannya, yang punya ilmu dengan ketajaman otaknya, yang punya tenaga dengan pisiknya dan lain sebagainya.
Tradisi qurban mengajarkan untuk berbagi kesenangan dengan sesama. Karena itu, membagikan sebagian daging adalah sebuah keharusan. Lebih utamanya, jika orang yang ber tidak mengambil lebih dari organ hati hewan saja, meskipun mengambil lebih dari itu sampai batas 1/3 daging masih dalam batas sunnah. Adapun jika itu dinazarkan, maka orang yang ber dan anggota keluarga yang wajib dia nafkahi tidak diperbolehkan mengambil sedikit pun dari daging tadi, dan semuanya harus dibagikan.
Semua itu menjelaskan bahwa hari raya qurban adalah saat di mana Allah menjamu hamba-hamba-Nya. qurban, dengan bercermin dari sejarah perjalanan hidup Nabi Ibrahim as telah mengajarkan kepada manusia, bahwa hanya Allah swt di dalam hati dan raja yang menguasai kehendak-kehendak ego-nafsunya. Pada tahap ini, seorang hamba tidak lagi melihat nilai dari materi. Dia hanya melihat bahwa satu-satunya yang harus disembah adalah Allah, bukan materi.
Qurban juga menegaskan pilihan Nabi Ibrahim kepada sesuatu yang abadi, di atas yang fana. Baginya, lebih penting menuruti kehendak Tuhan, dan anak tidak lagi menjadi penting ketika berhadapan dengan perintah Tuhan. Inilah contoh keagungan cinta kepada zat Yang Maha Agung yang pantas ditiru generasi yang gersang zaman ini. Tradisi sebagai simbol persembahan dan pengabdian yang tinggi kepada Allah.
Di dalam Islam, kemudian diletakkan sebagai bagian ibadah yang terikat oleh sejumlah aturan agar dinilai sah menurut syara’. Akan tetapi, makna yang hakiki dari itu tetap bisa dilihat di dalam aturan-aturannya. Jika pada kali pertamanya dipakai sebagai pembuktian cinta seorang hamba kepada Tuhan-nya, maka di dalam Islam, juga suatu cara orang berbagi dan saling menyayangi dengan sesamanya. Ini dapat dilihat dari keharusan memberikan sebagian dari daging kepada orang-orang sekitar, dan diutamakan kaum fakir miskin. Bahkan dianjurkan bagi orang yang berqurban cukup untuk mengambil sedikit saja dari dagingnya, sementara yang lain dibagikan kepada fakir miskin dan handai taulan sebagai bentuk kepedulian dan kesetiakawanan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar