Sabtu, 27 Oktober 2018

Profesi Guru Semakin Terancam

Wajah pendidikan kita kembali tercoreng, seorang ibu guru SMA Negeri 4 Kota Kupang, harus menahan rasa sakit dan sempoyongan setelah menerima dua kali tendangan di bagian perut. Perlakukaan kasar dilakukan oleh orang tua siswa, pada saat guru tersebut sedang mengajar di kelas. Perlakuan miris itu diberitakan serentak di media cetak, online dan tv, peristiwa terjadi (20/10/2018) dialami oleh Makrina Bika (57) guru Bahasa Inggris dianiaya oleh Matheos Tuflasa (50) yang notabene-nya adalah ayah dari siswanya berinisial MT (17).
Saksi mata, Erens Tualaka (37), menuturkan kejadian itu terjadi disaat MT  siswi kelas XI IPA 4 berjalan melalui koridor sekolah menuju perpustakaan, lalu bersenggolan dengan guru Makrina Bika. Akibatnya, telepon genggam sang guru terjatuh, sementara MT terus berjalan tanpa mempedulikan peristiwa itu. Makrina kemudian mengikuti MT dengan maksud ingin menegur dan bertanya sambil mencolek pipinya. Diluar dugaan, justru MT menelpon ayahnya atas perlakuan gurunya dan lebih dari lima kali dengan suara keras, MT mengeluarkan makian dengan kata-kata kasar sambil menelpon ayahnya.
Anehnya, tak berselang lama, ketika memasuki jam keenam pelajaran, tiba-tiba sang ayah MT datang ke sekolah dengan serta merta masuk ke ruang kelas dan menganiaya sang guru yang sedang mengajar. Melihat perlakuan yang keterlaluan terhadap gurunya, maka spontanitas siswa berusaha menyelamatkan gurunya dari serangan orang asing itu. Mungkin, untuk menghindari terjadinya kegaduhan, maka pihak sekolah berinisiatif melaporkan kejadian itu kepihak Mapolsek Kelapa Lima, akhirnya pelaku terpaksa diamankan sementara sambil menunggu proses selanjutnya.

Ketegasan Sekolah
Akhirnya, pihak sekolah mengambil keputusan tegas dan  mengeluarkan siswi tersebut dari sekolah. Tidak bisa dipungkiri, siswa semakin kehilangan etika dan sopan santun terhadap teman, guru, keluarga bahkan ke orang tua sekalipun. Siswa tidak lagi menganggap gurunya sebagai teladan, panutan, seorang yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan sehingga patut dihormati dan disegani. Kondisi ini diperparah dengan adanya kesan “pembiaran” yang dilakukan oleh pihak sekolah atas perilaku menyimpang yang dilakukan siswanya. Sudah saatnya pihak sekolah menyiapkan peraturan dan persyaratan yang ketat terkait dengan tatatertib sekolah sejak penerimaan siswa baru.
Selama ini, masih ada kesan dari pihak sekolah belum mampu secara optimal menjalankan peraturan sekolah terkait dengan standar isi, standar proses, standar penilaian pendidikan, standar pengelolaan, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar pembiayaan pendidikan sebagai delapan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di Indonesia. Seharusnya kriteria ini menjadi pengunci celah bagi para pihak, untuk “negoisasi” dan “terpaksa” menerima siswa yang kompetensinya rendah apalagi yang berperilaku nakal. Kemudian, untuk menjaga keseimbangan maka setiap orang tua siswa perlu membuat surat pernyataan yang menerangkan bahwa jika terjadi pelanggaran dan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anaknya atau orang tuanya, maka pihak sekolah berhak memberi sanksi sesuai dengan kaedah kepantasan dan kepatutan.

Profesi yang terancam
Profesi guru akan terus terancam, jika guru tidak mampu membuat terobosan secara bersama-sama untuk menjadi penyeimbang dalam status sosial, kesejahteraan, imunitas dan kewibawaan. Terjadinya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh siswa dan remaja secara umum dikarenakan pergaulan, gadget dan teknologi yang sangat terbuka, mudah diakses oleh siapa saja, dan lemahnya pengawasan dari keluarga. Orang tua siswa mempunyai kesibukan dan pekerjaan yang menyita waktu, sehingga mengakibatkan kurangnya perhatiaan terhadap anak-anaknya. Orang tua tidak sempat lagi menayakan suasana sekolah anaknya, tidak sempat lagi menemani anaknya ketika mengerjakan PR, tidak sempat lagi mengantar anaknya ke sekolah. Hal ini dapat mengakibatkan anak terlalu bebas, terlalu liar, dan kehilangan pengawasan sehingga merasa sangat merdeka dalam menentukan sikap dan pilihannya.
Kondisi ini, dapat berakibat pada hilangnya sopan santun, lunturnya budaya hormat-menghormati, hilangnya rasa saling menghargai dan pudarnya rasa solidaritas. Bahkan kondisi dapat terjadi karena faktor; Pertama, status sosial siswa lebih tinggi dari gurunya, sang siswa berasal dari keluarga yang mapan, terpandang, apalagi orang tuanya sebagai pejabat di instansi pemerintah. Jadi, dengan fasilitas yang diberikan oleh orang tuanya membuat siswa tidak takut pada siapapun termasuk pada guru karena orangtuanya pasti akan mendukung anaknya.
Kedua, posisi ekonomi siswa lebih baik dari guru, hal ini banyak terjadi disekolah favorit dan internasional. Siswa akan memandang rendah gurunya, karena siswa ke sekolah dengan kendaraan mobil, sedangkan sang guru hanya naik sepeda motor, pakaian dan sepatu yang digunakan siswa lebih ‘branded’ dibandingkan gurunya. Ketiga, siswa lebih paham materi yang diajarkan oleh gurunya, bagi siswa yang serius belajar, mereka akan dapatkan materi lebih banyak dan update dengan cara kursus melalui lembaga bimbingan belajar atau privat. Hal ini memungkinkan siswa akan memberikan pandangan rendah terhadap gurunya.

Tugas guru tidak hanya sekadar mengajar, menunaikan kewajiban, memenuhi jam pelajaran, justru guru harus mampu menunjukkan kreativitas yang mumpuni, model pembelajaran fun, dan materi ajar yang terus di update. Sebagai pendidik, guru perlu menghadirkan kepekaan sosial,  rasa simpati dan empati, tanggungjawab, solidaritas dan berhimpun dalam wadah asosiasi guru. Orang tua/wali siswa hendaknya mampu menjaga silaturahmi secara intens dengan kepala sekolah dan dewan guru, menjalinan kerjasama, hadir ketika diundang, terutama pada saat pengambilan rapor. Pemerintah perlu hadir menfasilitasi sekolah untuk menyiapkan tenaga keamanan di setiap sekolah agar para tamu dapat difasilitasi dan dimediasi untuk mendapatkan informasi secara profesional dan proporsional. Waalahu’alam bissawaf.
artikel ini sudah pernah dimuat di kolom Opini Harian Babel Pos, halaman 8 tanggal 27 Oktober 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar