Jumat, 26 November 2010
“Pramewok” Syariat
Sat, Nov 20th 2010, 08:45
“Pramewok” Syariat
(Menyimak Affan Ramli)
Jabbar Sabil MA - Opini/Serambi Indonesia
SAHABAT saya seakidah, Affan Ramli (AF), telah memilih teks sebagai media meluapkan uneg-unegnya. Maka tidak seorang pun berhak mengklaim paling tahu maksud AF, di luar pengertian teks itu, termasuk AF sendiri. Jika ada beda pendapat tentang maksud AF dalam dua artikelnya, maka ukuran kebenarannya adalah kembali kepada teks artikel itu sendiri.
Saya menangkap itikad baik dalam tulisan AF melalui ajakan mengubah framework cambuk penerapan syariat menjadi framework humanis, dan itu bukan isu baru, Serambi (25/10/10). Kalau Khairizzaman mencak-mencak, Serambi (1/11/10), itu tok karena gaya bahasa AF yang cenderung ‘nyeleneh’, bahkan (maaf) terkesan provokatif. Kelihatan gaya bahasa ini berhasil mematikan logika lawan karena emosinya keburu terpancing oleh kata-kata ‘ironi’ yang tidak terukur.
Adapun inti tulisan AF terletak pada tawaran konsep islamisasi ilmu (islamization of knowledge) sebagai pemecahan masalah yang katanya ditimbulkan oleh ‘kaum moralis’ Aceh. Lalu mengajak mengganti framework yang divonisnya “dirumuskan secara tergesa-gesa oleh beberapa cendekiawan Aceh”. Tulisan itu dengan pongah menjengkal mereka; “bermodalkan pengetahuan yang memprihatinkan tentang kemuliaan posisi manusia dalam Islam”. Lalu artikel kedua (8/11/10) bergaya paternal mendikte; “Semangat heroik saja tidak cukup bung! Gerakan butuh ketersediaan konsep yang memadai dan kekayaan sumber wacana keilmuan yang melimpah”.
Alur di atas mendorong saya untuk menilik, konsep agung apa ditawarkan artikel ini, sehingga perlu ‘menyentil’ kuping banyak orang. Bagi saya tulisan seperti itu berarti cari musuh, pasalnya ditulis serabutan berdasar konsep yang belum utuh dipahami. Perhatikan kutipan; “Konferensi itu tidak merekomendasikan agar shariah law menggantikan civil law, tetapi mendesak untuk mengembangkan pengetahuan yang memadai tentang hukum Syariat yang memungkinkan pemerintah merespons dan menyelesaikan masalah-masalah masyarakatnya dengan solusi syariah, (S.A. Ashraf: 1985).
Memperhatikan teks kutipan ini, kata kuncinya adalah pengetahuan, dan solusi syariah. Ini merupakan hasil penelusuran filosofis ke dalam syariat yang menghasilkan cabang ilmu Maqasid al-Syari’ah yang masih terbilang baru bagi Aceh. Saking barunya, AF sendiri kelihatan tidak memahami sehingga keluar dari pembahasan yang sudah mulai mengerucut itu. Fokus tulisan justru dikembalikan kepada “world conference” yang tema besarnya adalah “islamization of knowledge”. Maka mulai dari sini terlihat kerancuan alur pikir tulisan itu.
Pertama, terjadi percampuradukan antara “kerangka kerja” yang masuk pada tataran aplikasi syariat, dan “wacana intelektualitas” pada tataran paradigma. Seharusnya tawaran solusi untuk “ulah pemerintah dengan syariat Islamnya” adalah melalui ilmu maqasid al-syari’ah dipadu dengan al-siyasah al-syar’iyyah seperti terungkap dalam kutipan kata Ashraf di atas. Hal ini telah ditawarkan sejak abad ke delapan hijrah oleh al-Syatibi (w. 790 H), bahwa tujuan syariat adalah mengeluarkan manusia dari dorongan hawa nafsunya. Namun anehnya, tataran aplikasi ini ditinggalkan menggantung dengan mengambil isu “islamization of knowledge” yang masih kabur.
Kutipan di atas dipertajam pada artikel kedua dengan menyebut beberapa nama tokoh gerakan islamisasi ilmu. Di antaranya al-Faruqi dan al-Attas yang sebenarnya memperlihatkan realitas lain, bahwa konsep gerakan itu belum padu, sebab dua tokoh itu masih bersitegang. Ketegangan itu menjadi bukti bahwa Islam justru menerima keberagaman, hal yang ditulisnya menjadi tauladan untuk Aceh dari model-model gerakan islamisasi di dunia Islam. Oleh karena itu, “islamization of knowledge” tidak menjadi solusi, tapi membuka peluang bagi kreasi baru lewat tuntunan ilmu maqasid al-syari’ah.
Kedua, solusi ditawarkan untuk mengobati ‘kemiskinan konsep’ dengan logika; “Mengingat perumusan framework baru itu mensyaratkan pengetahuan yang memadai tentang Islam dan jawabannya terhadap masalah manusia, maka (natijah/konklusi), world conference yang dihadiri oleh para pemuka cendikiawan muslim dunia harus diadakan di Aceh”. Ini penyimpulan yang tidak logis, sebab “world conference” hanya mampu memperkaya konsep pada tingkat grand norm, atau disebut maqasid al-‘ammah dalam ilmu maqasid al-syari’ah, atau paling kuat dalam tingkat maqasid al-khassah. Sedangkan yang dibutuhkan Aceh dalam aplikasi syariat adalah maqasid yang sampai pada tingkat juz’iyyah yang aplikatif, semacam fikih Aceh di tengah fikih dunia Islam. Kalau pun muktamar cendekiawan diperlukan, itu hanya sebatas ‘terapi kejut’ untuk memicu percepatan perubahan paradigma. Adapun local wisdom-nya Aceh, hanya mampu dirumuskan oleh orang Aceh sendiri.
Ketiga, bahwa penerapan syariat Islam menjadi terasing ketika Aceh mengarantinakan diri dan tidak belajar dari proyek islamisasi masyarakat dunia yang sudah dimulai serius lebih awal. Ini juga satu ungkapan yang kosong makna, tidak ada proyek islamisasi masyarakat dunia, yang ada hanya wacana “islamization of knowledge”. Selebihnya, hanya proyek taqnin model Turki, atau model Mesir, dan lain-lain yang menjadi contoh usaha positivisasi fikih. Usaha ini tentu harus dilakukan dengan berangsur-angsur (tadarruj). Oleh karena itu, saya sangat setuju dengan ajakan melakukan perangkingan masalah manusia Aceh. Hal ini sesuai dengan Fiqh Awlawiyyah yang diusung Yusuf al-Qaradhawi, dan tokoh ulama lain.
Sampai di sini, bagaimana pun kita mengakui adanya kekurangan dalam usaha penerapan syariat Islam di Aceh, tapi itu jangan dilihat sebagai produk, tapi proses. Benar diperlukan adanya sinergisitas antara konsep syariat dan pola penerapannya, tapi ajakan ke arah itu harus dengan maw’idha hasanah.
Menurut saya, sekarang bukan zamannya lagi “seumurak”, tapi berdakwah dengan lemah lembut sambil menebarkan pikiran-pikiran dinamis secara positif. Kita bangga atas produktifitas AF sebagai penulis buku, tapi tambahan kata `harus’ dalam kalimat: “Rumusan ini harus terlihat dalam buku-buku ilmiah yang ditulis oleh para sarjana dan teungku Aceh.”, tidak mencerminkan kerendahan hati seorang ilmuwan.
Jika seorang AF menulis demikian, maka yang ia lakukan bukan menawarkan framework baru untuk penerapan syariat Islam di Aceh, tapi hanya “pramewok” syariat (meramaikan lelucon syariat).
* Penulis adalah penulis buku Menalar Hukum Tuhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar