Jumat, 26 November 2010

Jargon Idealisme Guru

Thu, Nov 25th 2010, 09:32 Jargon Idealisme Guru (Refleksi Hari Guru Nasional) Sadri Ondang Jaya - Opini/Serambi Indonesia DIAKUI atau tidak, dewasa ini, peran guru telah mengalami distorsi yang cukup parah. Guru lebih banyak berperan sebagai “tukang” yang menjual jasa. Sementara peserta didik, adalah orang menerima jasa untuk menjadi pintar. Atau dalam bahasa yang lebih ekstrim, bahwa pendidikan kita dewasa ini, memiliki kecenderungan ibarat sebuah transaksi bisnis. Ada yang menjual jasa pendidikan dan ada yang membelinya. Anehnya, pendidikan lebih mengejar pada aspek materialis. Dan telah meninggalkan aspek idealis. Di tengah absurditas peran guru tersebut, agaknya perlu kita pertanyakan kembali kepada cekgu ini. Apa sebetulnya, yang menjadi alasan mereka memilih bekerja menjadi guru. Ada sebagian guru yang menjawab, daripada menjadi sarjana pengangguran, lebih baik jadi guru. Sebagian lagi menjawab, hanya untuk coba-coba saja, iseng. Yang sedikit lebih “hebat” alasan memilih menjadi guru, ingin mencari kesenangan. Karena pekerjaan sangat ringan, tak rumit palagi ruwet, hanya cuap-cuap, dapat gaji, dan panjang masa liburannya. Ada juga menjawab, gaji guru besar. Kalau guru telah disertifikasi, gaji menjadi dua kali lipat. Hampir tidak ada yang menjawab, jadi guru supaya dapat mengabdi untuk mendidik anak bangsa supaya cerdas, berakhlak mulia dan mandiri serta mendapat pahala dari Allah swt. Tak ada salahnya, alasan-alasan di atas dikemukakan oleh guru. Namun hal inilah yang membuat “kegelisahan” Zamzami, seorang mahasiswa IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dalam tulisannya di Serambi Indonesia (31/7/2010) lalu, “Guru Jadi-jadian”. Menjadi guru, tulis Zamzami, bukan hanya sekadar mengajar dalam kelas, kemudian lepas tanggung jawab di luar kelas. Guru bukan hanya bisa mengajar, tapi juga harus mampu mendidik siswanya. “Guru yang baik adalah guru yang mampu mendidik murid-muridnya bersikap dewasa, memiliki nilai individualitas, moralitas, dan sosialitas dalam kehidupan. Guru yang profesional dan penuh pengabdian untuk mencerdaskan bangsa. Bukan hanya sekadar menjadi guru-guruan atau guru jadi-jadi,” demikian tulis Zamzami. “Tudingan” Zamzami ini, tidak hanya sekadar tudingan. Secara realitas, banyak guru kita sekarang yang hanya sekadar jadi guru. Guru dianggap hanya seperti tukang. Bekerja, dapat upah. Proses belajar-mengajar dianggap seperti pembeli dengan kasir. Guru tipe ini, mengajar hanya berangkat dari ruang kosong, tidak lahir dari idealisme. Ia tidak menjadi guru “power full”, guru yang mengarahkan seluruh kemampuan dan kekuatannya ke arah yang positif melalui pengajaran dan pendidikan sehingga anak didik mengalami perubahan dan pencerahan. Dalam bahasa Emile Dukhem, guru sesungguhnya, harus mampu sebagai pembebas, untuk proses pencerahan ummat manusia. Dengan begitu, guru merupakan suatu lokomotif meningkatkan kualitas manusia secara utuh, lahir dan batin, rohani dan jasmani, dunia dan akhirat yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusian seperti keinginan sang khalik. Menjadi guru adalah sebuah laku misi yang penuh dengan moralitas. dan idealitas. Menjadi guru harus punya spirit excellence atau ruh untuk mendidik, ruh perubahan dan pencerahan. Ruh di sini sesuatu yang lahir berasal dari idealisme, dari pergulatan batin untuk mendidik anak-anak bangsa. Tanpa ada ruh, perbuatan mendidik anak bangsa, hanya ibarat tugas rutinitas belaka. Guru yang tidak punya ruh dan idealisme, hanya bekerja setengah-setengah dan asal-asalan. Ilmu yang diajarkan dan tingkah laku yang “dipertontonkan” guru pada anak didik, sebenarnya, muncul dari hati nurani yang dalam setelah terlebih dahulu mengalami proses akumulasi atau kristalisasi. Bagaimana ilmu dan tingkah laku yang bernas bisa lahir, kalau gurunya tidak memiliki ruh (misi idealisme). Untuk mengemban misi suci guru, guru harus terus mawas diri dan melakukan perbaikan-perbaikan kopetensinya seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kalau sang guru itu, menyadari posisinya dan pekerjaannya sebagai amanah, tugas suci, dan misinya sangat sakral. Guru tentu lebih mengutamakan pengabdian tulus, tanpa syarat apa lagi dengan embel-embel materi. Sebab, pengabdian seorang guru dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, akan membuat sang guru tersebut masuk dalam syurga. Apabila manusia meninggal dunia, kata Hadis Nabi Muhammad saw, ada tiga golongan pahala yang tetap mengalir pada manusia. Salah satu di antaranya, ilmu yang memberi manfaat yang diajarkan dengan mencari keridhaan Allah dan penuh keikhlasan. Moment Hari Guru Nasional yang jatuh 25 November kali ini, patut kiranya kita merenung kembali hakikat menjadi seorang guru. Guru akan dikenang dan dihormati apabila kehadirannya bermanfaat bagi orang lain dan tingkah laku serta ajarannya memiliki spirit effect yang besar terhadap anak didik dan masyarakat. Kalau ini, tidak terjadi, lebih baik jangan menjadi guru. Bagi yang bermental separuh jadi guru atau tidak menjadi guru power full, juga tak berkeinginan untuk mengembangkan dirinya untuk memberikan perubahan dan pencerahan kepada anak didik dan masyarakatnya, dari sekarang ucapkan selamat tinggal menjadi guru. Menjadi guru ala kadarnya, akan menghasilkan kemampuan anak didik ala kadarnya pula. Teringat ucapan Aristoteles, filsuf berkebangsaan Yunani, “Berusaha, bekerja, dan berbuat demi kesenangan semata adalah perbuatan yang bodoh dan sungguh kekanak-kanakan. Kalau guru bermental setengah-setengah (non power full) dan hanya mencari kesengan semata, pendidikan akan menjadi belenggu. Guru seperti itu akan membungkam nilai-nilai kemanusian yang terkandung dalam pendidikan. Sehingga ujung-ujungnya perkembangan manusia menjadi absurd, abnormal, dan peradabannya menjadi peradaban yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusian. * Penulis adalah Guru di Gosong Telaga-Singkil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar