Ternyata
jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia sudah mencapai angka 4.646.351 (bkn.go.id,
21/6/2011). Jumlah tersebut membuat Menteri Keuangan Agus Martowardojo menjadi khawatir
dan meminta pemerintah pusat dan daerah untuk waspada. Kekhawatiran Menteri
Keuangan sangat beralasan, dengan jumlah PNS yang begitu besar mengakibatkan
pada beban APBN/APBD yang terus meningkat. Setiap tahunnya pemerintah perlu mengalokasi
sekitar 50-60 persen untuk membayar biaya rutin PNS seperti gaji, asuransi,
dana pensiun, tunjangan jabatan dan Tunjangan Prestasi Kerja (TPK).
Memang
kekhawatiran itu, sudah dipertimbangkan dengan adanya kesepakatan moratorium
pembatasan penerimaan PNS secara nasional. Moratorium antara Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Keuangan, Badan Kepengawaian
Negara, bersepakat hanya menerima PNS dengan kompetensi khusus. Untuk tahun
2012 pemerintah hanya menerima PNS untuk tenaga dokter, bidan, apoteker, auditur,
pustakawan, arsiparis, guru dengan keahlian husus untuk daerah terpencil dan
beberapa orang penyuluh pertanian dan kesehatan. Dengan jumlah PNS yang sangat
membengkak dan membebani APBN/APBD pemerintah perlu berfikir bagaimana dengan
nasib PNS yang sudah terlanjur ada? Apa yang perlu dilakukan pemerintah dan
siapa yang berwenang untuk itu?
Tidak
dipungkiri, masih ada PNS yang menunaikan tugasnya hanya sekadar menuntaskan
kewajiban saja, belum memperhatikan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Sementara itu ada PNS yang dengan
sungguh-sungguh menjalankan nilai-nilai pengabdian sebagai abdi Negara. Kondisi
ini sulit dipetakan, karena keberadaan PNS yang sunguh-sunguh dengan PNS yang
sekadar hadir untuk absensi, sama-sama berseragam, dalam ruang dan kantor yang
sama. Untuk itu, tugas pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini gubernur dan
bupati/kota, agar dapat berpikir stategis demi peningkatan sumber daya PNS di
semua lini. Tidak hanya itu beban anggaran juga dapat dikendalikan dengan
mengedepankan nilai-nilai efektif dan efesien.
Kebijakan Strategis
Semua
pihak perlu berpikir positif, agar upaya pemerintah terhadap moratorium
penerimaan PNS akan berhasil, paling tidak pemerintah perlu membuat kebijakan
strategis untuk meningkatkan kinerja dan motivasi pengawai dalam bekerja. Pertama
Regulasi, pemerintah perlu segera menyiapkan peraturan yang mengatur tentang
fungsi, beban kerja dan reward kepada pengawai. Bukan berarti peraturan yang
ada sekarang belum memadai, tetapi perlu ada optimalisasi agar para pengawai
lebih termotivasi dalam bekerja yang semuanya berakibat pada tingkat
kesejahteraan.
Kedua
pemerintah perlu melakukan restrukturisasi, agar pengawai yang terasa gemuk
perlu dirampingkan. Sederhana saja, bila satu bagian/ruangan di kantor
pemerintah ada satu orang kepala bagian ditambah dengan 3-5 orang kepala
subbagian yang setiap subbagian terdapat 3-6 orang staf, artinya setiap satu
bagian/ruang dihuni oleh 15-25 PNS. Sedangkan beban kerja bagian tersebut hanya
berfungsi untuk mengagendakan surat masuk dan surat keluar serta mengarsipkannya.
Kalaulah yang terjadi seperti itu, maka jumlah itu masih terlalu besar
dibandingkan dengan beban pekerjaan yang ada. Padahal beban tersebut dapat
dikerjakan oleh 5-7 orang saja, yang penting setiap orang perlu diberi baban
kerja yang jelas dengan prinsip satu pekerjaan dapat dikerjakan sacara tuntas.
Bila ini dilakukan paling tidak pemerintah akan menghemat dari segi anggaran dan
pemerintah akan lebih mudah mengotrolnya.
Ketiga
Revitaliasasi, saat ini pemerintah membutuhkan tenaga yang professional dengan
tingkat ekspert yang memadai, pemerintah sudah dapat bersikap tegas dengan
pengawai yang tidak memiliki kompetensi, dedikasi dan loyalitas. Pemerintah perlu
merekruitmen ulang terhadap pengawai yang sudah ada. Hal ini penting dilakukan,
agar pengawai benar-benar tenaga professional yang focus dan serius dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Selanjutnya, pemerintah memberi pembinaan berupa peningkatan
kapasitas bagi pengawai yang belum terpilih. Hal ini juga diberlakukan kepada pejabat
eselon, meskipun mereka sudah pernah mengikuti berbagai pendidikan dan
pelatihan baik diklat PIM tingkat I, II dan III.
Keempat
Amputasi, pemerintah tidak perlu ragu dan bimbang untuk bersikap tegas terhadap
pengawai yang belum menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Akan lebih
berwibawa bila pemerintah dengan kewenangan dan wewenang yang melekat padanya untuk
melakukan evaluasi secara menyeluruh dan konfrehensif terhadap perilaku
pengawai. Bila ditemukan pengawai yang hanya rutin absen dan rjin apel,
sementara outpunya tidak ada, maka sudah sepantasnya diberi teguran dan sangsi
secara tegas. Dan setiap atasan harus berani memberi rekomendasi kepada agar
pengawai yang volume kerjanya rendah untuk dievaluasi.
Nah,
pejabat berwenang dengan mengedepankan sikap kooperatif dan konfirmatif harus
berani bertindak tidak populis, dengan mengajukan pilihan kepada pengawai yang
tidak produktif. Bagi pengawai yang hanya datang untuk absen dan pulang setelah
apel, perlu disodorkan pilihan untuk mundur dari PNS dengan tetap memperoleh
tunjangan masa tua (pensiun dini). Atau diberhentikan dengan hormat tetapi
tidak mendapatkan dana pensiun. Resiko terburuk, akan banyak pengawai yang
mengadu kepengadilan, namun kita yakin bahwa upaya hukum apapun yang ditempuh. Waallahu’alam
bissawaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar