Pelantikan Pengurus Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta
Periode 2013-2015, diisi dengan Orasi ilmiah oleh Guru besar Ilmu Politik Universitas
Indonesia Prof. Dr. H. Nazaruddin Sjamsuddin, MA. Pelantikan pengurus IMPAS, Ketua
Umum Yusra Jamali, Sekretaris Jenderal Muntasir dan Bendahara Siti Ikramatoun,
dilakukan oleh Sekda Aceh, T. Setia Budi atas nama Gubernur Aceh, Sabtu, (28/9)
di Mess Aceh-Jakarta.
Dalam kesempatan itu, Sekda meminta hendaknya pengurus IMPAS untuk
dapat segera menyelesaikan studinya dan segera mengabdi, Aceh membutuhkan
kontribusi dan pemikiran dari pengurus IMPAS. “hendaknya, jangan berlama-lama
menjadi pengurus IMPAS, selesaikan studi tepat waktu dan segera pulang ke Aceh,
ide dan konsep kaum intelektual sangat ditunggu, pembangunan Aceh membutuhan
sentuhan kaum muda, untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di Aceh” pinta Setia
Budi.
Sementara itu Ketua terpilih, Yusra Jamali dalam sambutannya
menyebutkan bahwa pelantikan pengurus kali ini merupakan hasil Musyawarah Besar
(Mubes) III IMPAS yang dilaksanakan pada tanggal 11 Mei 2013 lalu. Secara umum
jumlah mahasiswa pascasarjana asal Aceh yang sedang S2 dan S3 di Jakarta
mencapai 400an- mahasiswa, sedangkan yang menjadi pengurus IMPAS hanya 45
orang.
IMPAS sebagai wadah silaturrahmi dan tempat berhimpunnya para
intektual, paling tidak dapat menjadi perekat dalam perbedaan, pengingat dalam
kealpaan, penyambung dalam keretakan, pemersatu dalam perselisihan dan penyejuk
dalam kegalauan. “Kita mengakui bahwa ini bukan hal mudah, namun sebagai kaum
intelektual, kita perlu memulai” sebut Yusra Jamali.
Orasi Ilmiah
Sementara itu, Guru Besar Ilmu
Politik UI, Prof. Nazaruddin Sjamsuddin, menyebutkan membangun Aceh perlu
sinergisitas antara kampus dan pemerintah Aceh, Pemerintah Aceh perlu menjalin
kerjasama dengan pihak akademik, untuk menyusun dan membuat perencanaan
pembangunan daerah. Pemerintah tidak perlu khawatir dengan kampus, apalagi
merasa saingan.
Selanjutnya Mantan Ketua KPU periode 2002-2007 itu, menjelaskan bahwa
MoU Helsinki sebagai modal dalam membangun Aceh, dengan adanya MoU Helsinki,
Aceh dapat kembali menata diri dengan kebijakan, politik, pendidikan, sosial
dan hukum. "Yang tandatangan MoU, kan mereka (GAM), maka wajar kalau
mereka yang berperan, itu sangat normatif dan siapa pun tidak boleh merasa
ditinggalkan" tandasnya.
Pemerintah Aceh perlu segera medesain program strategis untuk membuka
akses transportasi untuk wilayah tengah dan tenggara. "Sederhana saja,
gubernur cukup membuka jalan lintas antara Meulaboh ke Geumpang atau Takengon,
lalu masing-masing jalan ditembuskan ke jalan pesisir timur-Utara, Sigli atau
Lhokseumawe" Ulas Nazar berfilosofi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar