Hampir
dapat dipastikan, sebagian besar masyarakat Aceh mengetahui atau pernah
mendengar nama Cut Nyak Dhi’en kerana nama itu, merupakan salah seorang
pahlawan nasional asal Aceh dan tertera dalam buku sejarah yang diajarkan di
sekolah. Cut Nyak Dhi’en lahir tahun
1848 di Aceh Barat, ayahnya bernama Teuku Nanta Setia dan Ibunya seorang Bangsawan
dari Lampagar, Aceh Besar. Cut Nyak Dhi’en dikenal sebagai panglima perang
Aceh, setelah suaminya Teuku Umar tertembak oleh sedadu Belanda pada 11
Februari 1899 di Ujong Kala’ (Meulaboh-Aceh Barat).
Sebagai srikandi, Cut Nyak Dhi’en mengambil
alih sebagai panglima perang dan melanjutkan perjuangan sang suami. Sikap tegas
dan teriakan Allahu Akbar, menyulut jiwa patriotik para laskar, cita-cita luhur
dan semangat pantang menyerah, menjadi modal perjuangan pasukan Inoeng Balee (janda
laskar jihad-pen), Cut Nyak Dhi’en maju ke medan perang melawan kaphe Belanda.
Selama enam tahun, Cut Nyak Dhi’en
menjadi panglima perang, kemudian Cut Nyak Dhi’en ditangkap oleh tentara Belanda
tanggal 6 Nopember 1905, atas inisiatif panglima perangnya Teuku Pang Laot yang
kemudian dikenal dengan Panglima di Tibang. Sederhana sekali pertimbangan Pang
Laot, hanya kerena kasihan dan iba dengan kondisi Cut Nyak, karena matanya sudah
kabur, riwayat yang lain menyebutkan sudah buta. Lalu sang panglima melaporkan
posisi dan keberadaan Cut Nyak kepada tentera Belanda, dengan syarat Cut Nyak
tidak boleh disiksa dan tidak boleh diasingkan.
Kesepakatan itu disetujui oleh kedua
pihak, dan saat ditangkap Cut Nyak Dhi’en sedang tidak bisa melihat. Konon,
justru Cut Nyak Dhi’en tidak ingin melihat khafee Belanda yang sudah
menyengsarakan rakyat Aceh, sehingga Cut Nyak Dhi’en, memilih “lebih baik saya
buta, daripada harus melihat khafee”. Hal itu dibuktikan oleh Cut Nyak Dhi’en dengan
tidak mau menerima pemberian dan bantuan dari Belanda selama di pengasingan, maka,
keperluan Cut Nyak Dhi’en selama di Sumedang ditanggung oleh Pangeran Aria
Suriatmadja sebagai residen Sumedang.
Sebagai penjajah, Belanda tidak dapat
menempati janjinya, setelah satu tahun di Kutaraja, Tanggal 11 Desember 1906, Cut
Nyak Dhi’en diasingkan ke Pulau Jawa dan dipilihlah Sumedang, Jawa Barat atas
permintaan dan perintah Gubernur Jenderal Belanda J.B.V Heust. Ketika diasingkan,
Cut Nyak Dhi’en ditemani oleh seorang remaja tampan bernama Teuku Nana, ketika
itu berumur 15 tahun. Teuku Nana tinggal besama Cut Nyak Dhi’en dan menikah
dengan Iyoh gadis Cipada dikarunia tiga orang anak yaitu Maskun, Ninih dan
Sahria. Tahun 1930 Teuku Nana dan Istri serta anak-anaknya pulang ke Aceh dan
tidak pernah lagi kembali ke Sumedang. Teuku Nana sebagai saksi perjalan Cut
Nyak Dhi’en menuju pengasingan, hendaknya perlu ditelusi jejak keluarga Teuku
Nana, dan dirilis informasinya sebagai rasa tanggung jawab Pemerintah Aceh
dalam menyelamatkan sejarah.
Selama di Sumedang, Cut Nyak Dhi’en
tinggal di rumah KH. Sanusi, seorang ulama besar dan pendiri Mesjid Agung Sumedang,
untuk menjaga dan merawat Cut Nyak Dhi’en dilakukan oleh KH. Sanusi sendiri. Setelah
KH. Sanusi wafat pada tahun 1907, perawatan Cut Nyak Dhi’en dilakukan oleh
anaknya H. Husna hingga Cut Nyak Dhi’en wafat Tanggal 6 Nopember 1908,
dimakamkan di pemakaman keluarga KH. Sanusi di Gunung Puyuh Sumedang. Selama di
Sumedang Cut Nyak Dhi’en, mengisi waktunya dengan mengajarkan ilmu agama Islam yang
bersumber dari kitab-kitab Arab klasik kepada masyarakat Suka Jaya, Sumedang
bagian Selatan, dengan menggunakan Bahasa Arab yang diterjemakam oleh H. Husna
dan anaknya Siti Khodijah. H. Husna adalah anak dari KH. Sanusi dan wafat pada
tahun 1948, sedangkan Siti Khodijah wafat tahun 1967 keduanya dimakamkan disisi
depan makam Cut Nyak Dhi’en.
Selama di Sumedang, Cut Nyak Dhi’en,
dikenal sebagai Ibu Perbu dari seberang, yang artinya seorang ulama perempuan
yang rajin mengaji dan fasih berbahasa Arab. Masyarakat setempat, Ibu Perbu
juga dikenal sebagai Ibu suci dan baru tahu bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhi’en
pada tahun 1959, setelah Pemerintah Aceh mencari keberadaan makam Cut Nyak Dhi’en.
Atas pengakuan sang “perawat” Cut Nyak
Dhi’en yang bernama Siti Khodijah, memberitahukan bahwa makam Ibu Suci
sebenarnya makam panglima perang asal Aceh yang diasingkan oleh Pemerintah
Belanda. Setelah mendapatkan pengakuan
secara resmi dari keluarga KH. Sanusi, maka Pemerintah Aceh melalui Bupati
Sumedang melakukan pengecekan kebenaran makam. Tahun 1962 oleh keluarga besar H.Sanusi
menggelar upacara untuk mengenang jasa-jasa Cut Nyak Dhi’en yang turut dihadiri
oleh Pemerintah Aceh. Tahun 1972 Pemerintah Sumedang merenovasi makam Cut Nyak
Dhi’en dengan meninggikan makam dan membuat pagar pembatas.
Tahun 1987 atas inisiatif Bustanil
Arifin sebagai kepala Bulog dan Ibrahim Hasan sebagai Gubernur Aceh mendirikan
Meunasah dan membuat gapura makam. Tahun 2003 Pemerintah Aceh membuat benteng tebing
pembatas area makam, tahun 2008 oleh Pemerintah Aceh memdirikan prasasti makam,
membuat jalan lintas menuju makam, sekaligus merenovasi semua fasilitas yang
ada disekitar makam.
Lokasi pemakaman yang terletak di atas
perbukitan, menghadirkan hawa sejuk dan terlihat sangat asri, saat kita mendekat
ke makam sang pahlawan, kita langsung disapa oleh seorang laki-laki paruh baya,
Nana Sukarna (54) anak kandung Siti Khodijah. Sang juru kunci makam Cut Nyak
Dhi’en, dengan pakaian khasnya selalu sedia memberi informasi tentang perjuangan
dan ikhwal kehadiran Cut Nyak Dhi’en di Negeri Pasundan. (Jakarta, 26 Februari
2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar