Sabtu, 27 Februari 2016

CUT NYAK DHI’EN : JEJAK ACEH DI NEGERI PASUNDAN

Hampir dapat dipastikan, sebagian besar masyarakat Aceh mengetahui atau pernah mendengar nama Cut Nyak Dhi’en kerana nama itu, merupakan salah seorang pahlawan nasional asal Aceh dan tertera dalam buku sejarah yang diajarkan di sekolah.  Cut Nyak Dhi’en lahir tahun 1848 di Aceh Barat, ayahnya bernama Teuku Nanta Setia dan Ibunya seorang Bangsawan dari Lampagar, Aceh Besar. Cut Nyak Dhi’en dikenal sebagai panglima perang Aceh, setelah suaminya Teuku Umar tertembak oleh sedadu Belanda pada 11 Februari 1899 di Ujong Kala’ (Meulaboh-Aceh Barat).
Sebagai srikandi, Cut Nyak Dhi’en mengambil alih sebagai panglima perang dan melanjutkan perjuangan sang suami. Sikap tegas dan teriakan Allahu Akbar, menyulut jiwa patriotik para laskar, cita-cita luhur dan semangat pantang menyerah, menjadi modal perjuangan pasukan Inoeng Balee (janda laskar jihad-pen), Cut Nyak Dhi’en maju ke medan perang melawan kaphe Belanda.
Selama enam tahun, Cut Nyak Dhi’en menjadi panglima perang, kemudian Cut Nyak Dhi’en ditangkap oleh tentara Belanda tanggal 6 Nopember 1905, atas inisiatif panglima perangnya Teuku Pang Laot yang kemudian dikenal dengan Panglima di Tibang. Sederhana sekali pertimbangan Pang Laot, hanya kerena kasihan dan iba dengan kondisi Cut Nyak, karena matanya sudah kabur, riwayat yang lain menyebutkan sudah buta. Lalu sang panglima melaporkan posisi dan keberadaan Cut Nyak kepada tentera Belanda, dengan syarat Cut Nyak tidak boleh disiksa dan tidak boleh diasingkan.
Kesepakatan itu disetujui oleh kedua pihak, dan saat ditangkap Cut Nyak Dhi’en sedang tidak bisa melihat. Konon, justru Cut Nyak Dhi’en tidak ingin melihat khafee Belanda yang sudah menyengsarakan rakyat Aceh, sehingga Cut Nyak Dhi’en, memilih “lebih baik saya buta, daripada harus melihat khafee”. Hal itu dibuktikan oleh Cut Nyak Dhi’en dengan tidak mau menerima pemberian dan bantuan dari Belanda selama di pengasingan, maka, keperluan Cut Nyak Dhi’en selama di Sumedang ditanggung oleh Pangeran Aria Suriatmadja sebagai residen Sumedang.
Sebagai penjajah, Belanda tidak dapat menempati janjinya, setelah satu tahun di Kutaraja, Tanggal 11 Desember 1906, Cut Nyak Dhi’en diasingkan ke Pulau Jawa dan dipilihlah Sumedang, Jawa Barat atas permintaan dan perintah Gubernur Jenderal Belanda J.B.V Heust. Ketika diasingkan, Cut Nyak Dhi’en ditemani oleh seorang remaja tampan bernama Teuku Nana, ketika itu berumur 15 tahun. Teuku Nana tinggal besama Cut Nyak Dhi’en dan menikah dengan Iyoh gadis Cipada dikarunia tiga orang anak yaitu Maskun, Ninih dan Sahria. Tahun 1930 Teuku Nana dan Istri serta anak-anaknya pulang ke Aceh dan tidak pernah lagi kembali ke Sumedang. Teuku Nana sebagai saksi perjalan Cut Nyak Dhi’en menuju pengasingan, hendaknya perlu ditelusi jejak keluarga Teuku Nana, dan dirilis informasinya sebagai rasa tanggung jawab Pemerintah Aceh dalam menyelamatkan sejarah.
Selama di Sumedang, Cut Nyak Dhi’en tinggal di rumah KH. Sanusi, seorang ulama besar dan pendiri Mesjid Agung Sumedang, untuk menjaga dan merawat Cut Nyak Dhi’en dilakukan oleh KH. Sanusi sendiri. Setelah KH. Sanusi wafat pada tahun 1907, perawatan Cut Nyak Dhi’en dilakukan oleh anaknya H. Husna hingga Cut Nyak Dhi’en wafat Tanggal 6 Nopember 1908, dimakamkan di pemakaman keluarga KH. Sanusi di Gunung Puyuh Sumedang. Selama di Sumedang Cut Nyak Dhi’en, mengisi waktunya dengan mengajarkan ilmu agama Islam yang bersumber dari kitab-kitab Arab klasik kepada masyarakat Suka Jaya, Sumedang bagian Selatan, dengan menggunakan Bahasa Arab yang diterjemakam oleh H. Husna dan anaknya Siti Khodijah. H. Husna adalah anak dari KH. Sanusi dan wafat pada tahun 1948, sedangkan Siti Khodijah wafat tahun 1967 keduanya dimakamkan disisi depan makam Cut Nyak Dhi’en.
Selama di Sumedang, Cut Nyak Dhi’en, dikenal sebagai Ibu Perbu dari seberang, yang artinya seorang ulama perempuan yang rajin mengaji dan fasih berbahasa Arab. Masyarakat setempat, Ibu Perbu juga dikenal sebagai Ibu suci dan baru tahu bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhi’en pada tahun 1959, setelah Pemerintah Aceh mencari keberadaan makam Cut Nyak Dhi’en.
Atas pengakuan sang “perawat” Cut Nyak Dhi’en yang bernama Siti Khodijah, memberitahukan bahwa makam Ibu Suci sebenarnya makam panglima perang asal Aceh yang diasingkan oleh Pemerintah Belanda.  Setelah mendapatkan pengakuan secara resmi dari keluarga KH. Sanusi, maka Pemerintah Aceh melalui Bupati Sumedang melakukan pengecekan kebenaran makam. Tahun 1962 oleh keluarga besar H.Sanusi menggelar upacara untuk mengenang jasa-jasa Cut Nyak Dhi’en yang turut dihadiri oleh Pemerintah Aceh. Tahun 1972 Pemerintah Sumedang merenovasi makam Cut Nyak Dhi’en dengan meninggikan makam dan membuat pagar pembatas.
Tahun 1987 atas inisiatif Bustanil Arifin sebagai kepala Bulog dan Ibrahim Hasan sebagai Gubernur Aceh mendirikan Meunasah dan membuat gapura makam. Tahun 2003 Pemerintah Aceh membuat benteng tebing pembatas area makam, tahun 2008 oleh Pemerintah Aceh memdirikan prasasti makam, membuat jalan lintas menuju makam, sekaligus merenovasi semua fasilitas yang ada disekitar makam.

Lokasi pemakaman yang terletak di atas perbukitan, menghadirkan hawa sejuk dan terlihat sangat asri, saat kita mendekat ke makam sang pahlawan, kita langsung disapa oleh seorang laki-laki paruh baya, Nana Sukarna (54) anak kandung Siti Khodijah. Sang juru kunci makam Cut Nyak Dhi’en, dengan pakaian khasnya selalu sedia memberi informasi tentang perjuangan dan ikhwal kehadiran Cut Nyak Dhi’en di Negeri Pasundan. (Jakarta, 26 Februari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar