Selasa, 23 Mei 2017

Perang Ketupat, Tradisi Adat mengusir Lanun di Bangka Barat

Setiap tahun, pada minggu terakhir bulan sya’ban dalam rangka menyambut datangnya bulan puasa ramadhan, masyarakat Bangka Belitung menggelar pesta adat “perang ketupat “ yang di pusatkan di Desa Tempilang, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat-Bangka Belitung.
Kali ini pelaksanaan pesta adat perang ketupan, dipilih pada hari Minggu, 21 Mei 2017, acara dimulai sekira jam 10.00 WIB di hadiri oleh Bupati Bangka Barat, Drs. H. Farhan dan Gubernur Bangka Belitung, H. Erzaldi. Sebelum rangkaian kegiatan perang ketupan dimulai, diawali dengan sambutan tetua/tokoh adat Tempilang, H. Keman, sekaligus bertindak sebagai dukun darat.
Lokasi perang ketupat, di desain sedemikian rupa, hanya terpaut 20 meter dari bibir pantai. Pantai  Pasir Kuning yang landai dan langsung terhubung dengan garis perbukitan yang mempunyai historis dengan benteng kota.
Tempilang sebelumnya merupakan kota para pedagang, yang terletak disebelah barat Pulau Bangka, berjarak ±64 Km dari Kota Pangkal Pinang sebagai Ibukota Prop.Kep.Bangka Belitung. Jalan menuju ke lokasi tergolong mulus dan beraspal beton, sehingga dalam waktu sekira 2 jam dengan kendaraan pribadi, kita sudah mencapai lokasi perang ketupat. Itu lebih hemat sekira satu jam bila dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Perang Ketupat ini, merupakan acara adat yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Bangka Belitung yang dikemas dengan sedemikian rupa sebagai kegiatan tahunan. Prosesi pesta adat perang ketupan, dilaksanakan dengan ritual adat yang bernuasa mistis dengan menghadirkan roh para leluhur dengan meminjam raga para penari adat.
Sementara itu Bupati Bangka Barat H. Farhan, meminta kepada masyarakat Tempilang untuk senantiasa menjaga tradisi adat terutama pesta perang ketupat, kedepan akan kita promosi dengan lebih baik, dengan harapan akan lebih banyak para wisatawan yang hadir.
Lain halnya dengan yang disampaikan  Gubernur Bangka Belitung, H. Erzaldi, bahwa tradisi perang ketupan akan menjadi daya tarik sekaligus mangnet bagi wisatawan lokal dan nasional. Kita undang semua elemen untuk datang dan melihat secara langsung, bagaimana proses ritual pelaksanaan pesta perang ketupat. Diharapakan kepada semua kepala SKPD untuk lebih kreatif mengemas dan membungkus pesta rakyat ini sebagai daya tarik yang dapat mendatangkan income (pendapatan), bagi penduduk di sekitar pantai ini.
Asal muasal tradisi pesta adat perang ketupat, adalah pada zaman dahulu, di Desa Tempilang banyak anak gadis yang diambil dan dimakan siluman buaya, sehingga kondisi Desa Tempilang jadi sangat mencekam dan sebagian masyarakat merasa ketakutan. Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa dukun berinisiatif untuk mengadakan ritual untuk mencegah terjadinya musibah yang lebih besar lagi. Ritual tersebut di Masyarakat Desa Tempilang dikenal dengan nama Perang Ketupat.

Timang burong

Gendang panjang, gendang Tempilang
Gendang disambit, kulet belulang
Tari kamei, tari Serimbang,
Tari kek nyambut, tamu yang datang

Itulah penggalan bait pantun yang terkandung dalam Lagu Timang Burong (menimang burung) pengiring tari serimbang , dilantunkan secara lembut. Lagu itu, diiringi suara gendang dari enam penabuh serta alunan dawai (alat musi berupa biola), untuk mengiringi gerak lima penari remaja yang menyambut tamu. Dengan baju dan selendang merah, kelima penari menyita perhatian ribuan pengunjung yang memadati Pantai Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tepuk tangan dan rasa kagum para pengunjung menjadi, energi positif bagi penari yang sedang menunjukkan gerakan tari yang gemulai, menawan dan artistik. Tarian tujuh bidari, menjadi salah satu syarat dalam menggali tradisi adat pesta perang ketupat, tari yang dimainkan oleh tujuh bidari dan tujuh bidara akan memperkuat nyali sang leluhur dalam memenuhi keinginan sang dukun. Setelah tarian tujuh bidadari selesai dengan sempurna, maka sang leluhur, meminta segera mainkan tari kedidi, yang dilakonkan oleh dua pemuda tampat dengan memperagakan gerakan silat yang dimainkan dengan lembut dan pelan yang dilemgkapi dengan senjata berbentuk parang (golok).
Dukun darat, yang sudah agak sepuh terliat tegar menayakan beberapa informasi kepada leluhur yang sedang berada dalam raga salah seorang pemuda yang dijadikan perantara. Menurut beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika dukun darat sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Setelah semua ritual dan do,a selamatan selesai, dukun itu langsung meminta salah seorang petugasnya menata ketupat di atas sehelai tikar pandan. Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke laut dan ke darat, dan masing berebut ketupat dan melempar kepada lawannya sebagai simbol pengusiran para lanun (perompak laut-red).

Lanun dalam sejarahnya, merupakan perampak yang bersandar dan mendarat di kuala Tempilang sebagai jalur sibuk kerajaan Sriwijaya.Setelah tradisi adat perang ketupat, maka tidak dibolehkan selama tiga hari, sebagai pantangan antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur pakaian di pagar, mencuci kelambu dan mencuci cincin di sungai atau laut. (yusra Jamali, Tenaga Pengajar di STAIN Babel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar