Setiap tahun, pada minggu terakhir bulan sya’ban dalam
rangka menyambut datangnya bulan puasa ramadhan, masyarakat Bangka Belitung
menggelar pesta adat “perang ketupat “ yang di pusatkan di Desa Tempilang, Kecamatan
Tempilang, Kabupaten Bangka Barat-Bangka Belitung.
Kali ini pelaksanaan pesta adat perang ketupan, dipilih
pada hari Minggu, 21 Mei 2017, acara dimulai sekira jam 10.00 WIB di hadiri
oleh Bupati Bangka Barat, Drs. H. Farhan dan Gubernur Bangka Belitung, H. Erzaldi.
Sebelum rangkaian kegiatan perang ketupan dimulai, diawali dengan sambutan
tetua/tokoh adat Tempilang, H. Keman, sekaligus bertindak sebagai dukun darat.
Lokasi perang ketupat, di desain sedemikian rupa, hanya
terpaut 20 meter dari bibir pantai. Pantai Pasir Kuning yang landai dan langsung
terhubung dengan garis perbukitan yang mempunyai historis dengan benteng kota.
Tempilang sebelumnya merupakan kota para pedagang, yang
terletak disebelah barat Pulau Bangka, berjarak ±64 Km dari Kota Pangkal Pinang
sebagai Ibukota Prop.Kep.Bangka Belitung. Jalan menuju ke lokasi tergolong
mulus dan beraspal beton, sehingga dalam waktu sekira 2 jam dengan kendaraan
pribadi, kita sudah mencapai lokasi perang ketupat. Itu lebih hemat sekira satu
jam bila dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Perang Ketupat ini, merupakan acara adat yang
diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Bangka Belitung yang dikemas
dengan sedemikian rupa sebagai kegiatan tahunan. Prosesi pesta adat perang ketupan,
dilaksanakan dengan ritual adat yang bernuasa mistis dengan menghadirkan roh
para leluhur dengan meminjam raga para penari adat.
Sementara itu Bupati Bangka Barat H. Farhan, meminta
kepada masyarakat Tempilang untuk senantiasa menjaga tradisi adat terutama
pesta perang ketupat, kedepan akan kita promosi dengan lebih baik, dengan harapan
akan lebih banyak para wisatawan yang hadir.
Lain halnya dengan yang disampaikan Gubernur Bangka
Belitung, H. Erzaldi, bahwa tradisi perang ketupan akan menjadi daya tarik
sekaligus mangnet bagi wisatawan lokal dan nasional. Kita undang semua elemen untuk
datang dan melihat secara langsung, bagaimana proses ritual pelaksanaan pesta
perang ketupat. Diharapakan kepada semua kepala SKPD untuk lebih kreatif
mengemas dan membungkus pesta rakyat ini sebagai daya tarik yang dapat
mendatangkan income (pendapatan), bagi penduduk di sekitar pantai ini.
Asal muasal tradisi pesta adat perang ketupat, adalah
pada zaman dahulu, di Desa Tempilang banyak anak gadis yang diambil dan dimakan
siluman buaya, sehingga kondisi Desa Tempilang jadi sangat mencekam dan
sebagian masyarakat merasa ketakutan. Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa
dukun berinisiatif untuk mengadakan ritual untuk mencegah terjadinya musibah
yang lebih besar lagi. Ritual tersebut di Masyarakat Desa Tempilang dikenal
dengan nama Perang Ketupat.
Timang burong
Gendang panjang, gendang Tempilang
Gendang disambit, kulet belulang
Gendang disambit, kulet belulang
Tari kamei,
tari Serimbang,
Tari kek nyambut, tamu yang datang
Tari kek nyambut, tamu yang datang
Itulah penggalan bait pantun yang
terkandung dalam Lagu Timang Burong (menimang burung) pengiring tari serimbang , dilantunkan
secara lembut. Lagu itu, diiringi suara gendang dari enam penabuh serta alunan
dawai (alat musi berupa biola), untuk mengiringi gerak lima penari
remaja yang menyambut tamu. Dengan baju dan selendang merah, kelima penari
menyita perhatian ribuan pengunjung yang memadati Pantai Pasir Kuning,
Tempilang, Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tepuk tangan dan rasa
kagum para pengunjung menjadi, energi positif bagi penari yang sedang
menunjukkan gerakan tari yang gemulai, menawan dan artistik. Tarian tujuh bidari,
menjadi salah satu syarat dalam menggali tradisi adat pesta perang ketupat,
tari yang dimainkan oleh tujuh bidari dan tujuh bidara akan memperkuat nyali
sang leluhur dalam memenuhi keinginan sang dukun. Setelah tarian tujuh bidadari
selesai dengan sempurna, maka sang leluhur, meminta segera mainkan tari kedidi,
yang dilakonkan oleh dua pemuda tampat dengan memperagakan gerakan silat yang dimainkan
dengan lembut dan pelan yang dilemgkapi dengan senjata berbentuk parang
(golok).
Dukun darat, yang sudah
agak sepuh terliat tegar menayakan beberapa informasi kepada leluhur yang
sedang berada dalam raga salah seorang pemuda yang dijadikan perantara. Menurut beberapa orang tua di tempat
tersebut, ketika dukun darat sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Setelah
semua ritual dan do,a selamatan selesai,
dukun itu langsung meminta salah seorang petugasnya menata
ketupat di atas sehelai tikar pandan. Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta
perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke laut dan ke
darat, dan masing
berebut ketupat dan melempar kepada lawannya sebagai simbol pengusiran para
lanun (perompak laut-red).
Lanun dalam sejarahnya,
merupakan perampak yang bersandar dan mendarat di kuala Tempilang sebagai jalur
sibuk kerajaan Sriwijaya.Setelah tradisi adat perang ketupat, maka tidak dibolehkan selama tiga hari,
sebagai pantangan
antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur
pakaian di pagar, mencuci kelambu dan mencuci cincin di
sungai atau laut. (yusra Jamali, Tenaga Pengajar di STAIN Babel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar