Jumat, 16 Agustus 2013

Peringatan 8 Tahun MoU Damai Aceh, jangan sekadar seremoni


Tanggal 15 Agustus 2013 merupakan hari paling bersejarah bagi Masyarakat Aceh, karena pada tanggal tersebut 8 tahun lalu (15 Agustus 2005-2013). Fakta integritas berupa nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, kedua pihak melakukan penandatangan kesepahaman. Pihak RI yang diwakili oleh Hamid Awaluddin selaku menteri hukum dan HAM ketika itu, sedangkan dari GAM diwakili oleh Malik Mahmud salah seorang petinggi GAM. Penandatangan turut disaksikan oleh Martti Ahtisaari sebagai ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiatif di Helsinki, Finlandia. MoU Helsinksi sudah dapat mendamaikan Aceh dari konflik yg sudah meyatimpiatukankan sejumlah anak Anak di Aceh. Tidak hanya itu MoU juga sudah dapat menjamin pembagunan Aceh yang berkesinambungan, meskipun ada beberapa hal dan pasal dlm MoU yg belum terlaksana, seperti tapal batas Aceh yg ditetap 1 Juli 1956, soal simbol2 wilayah berupa bendera, lambang, himne dan lembaga Wali Nanggroe, hubungan luar negeri secara langsung baik udara maupun laut. Sebaiknya pemerintah Aceh perlu merefleksikan sekaligus introspeksi, agar peringatan MoU sebagai hari damai Aceh, tidak hanya sremoni belaka, justru hal2 yang belum tuntas perlu segera dijadikan titik awal untuk mengembalikan harkat dan martabat Masyarakat Aceh pasca musibah dan konflik yg memilukan. Pemerintah Aceh secara marathon dan simultan perlu segera mendasain kebijakan dan program yg dekat dan langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh Masyarakat Aceh seperti penyelenggaraan pendidikan, penuntasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, jaminan kesehatan, akses transportasi, lapangan kerja, ketersediaan sarana publik, clean goverment, dll. Semua program ini sifatnya mendesak..., Peringatan MoU itu perlu, tetapi justru yg lebih penting adalah mendekatkan pelayanan publik dengan kebutuhan masyarakat. Saatnya pemerintah saling menghormati dan menghargai, jgn terlalu eforia dan memaksakan libido politik golongan, karena kondisi itu justru tidak lebih kondusif. Pemerintah Aceh perlu melakukan komunikasi politik yg intens dan cerdas dengan pemerintah pusat, suka tidak suka Pemerintah Pusat Single Policy untuk Aceh, belum ada bargain pemerintah Aceh dgn Jakarta yang dimenangkan oleh Aceh. Selama Aceh masih dalam bingkai NKRI, maka Jakarta menjadi pusat kekuasaan dan kebijakan untuk Aceh. Pemerintah Aceh perlu segera melakukan koordinasi dengan stakeholder terkait untuk menyusun langkah strategis guna  penguatan perdamaian Aceh. Kalau memang patut Meseum perdamaian perlu segera dibagun, karena sejumlah dokumen perdamaian tidak diketahui keberadaanya, senjata yg dipotong pada masa damai juga tidak pernah diberitakan disimpan di mana ? Kita patut khawatir sejarah ini akan hilang dan terabaikan dikemudian hari. Dan kalau perlu pemerintah Aceh perlu memasukkan sejarah damai Aceh menjadi salah satu mata ajar muatan lokal dalam kurikulum sekolah di seluruh Aceh. Ttd. Yusra Jamali (Ketua Umum) Muntasir (Sekretaris Jendedral)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar